Selama belasan tahun, Cinta hidup sebagai yatim piatu tanpa pernah mengetahui wajah ibunya. Ayahnya, dengan sangat efektif, menghapus segala jejak dari wanita yang sangat dicintainya itu. Ketika Ayah menikah dengan Mama Alia dan membawa dua saudara tiri ke dalam hidup Cinta, dia semakin merasa terpinggirkan.
Cinta hanya tahu bahwa ibunya meninggal dunia saat dia masih kecil, dan dia tidak memiliki kenangan apapun tentangnya. Bahkan di rumah, tidak ada foto ibunya. Saat Cinta bertanya kepada Ayah tentang ibunya, Ayah menganggap itu sebagai masa lalu yang sebaiknya tidak dibahas lagi. Cinta ingin berbakti pada ibunya, tetapi bagaimana caranya jika ibunya sudah meninggal?
Di sekolah menengah, Cinta memiliki beberapa teman dekat: Neta yang tinggal hanya berdua dengan ibunya, Aisyah yang aktif di Rohis dengan banyak adik, Iwan, anak Rohis yang sering memberikan khutbah tanpa diminta, dan Peter, anak mami.
Suatu hari di kantin sekolah, Cinta bertanya pada Iwan tentang bagaimana seorang anak bisa berbakti kepada ibunya yang telah meninggal. Dengan nada serius, Iwan menjelaskan bahwa ada tiga hal yang dapat membantu orang yang telah meninggal: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih atau shalihah. “Jadi, meskipun orang tua sudah meninggal, masih ada cara bagi anak-anaknya untuk berbakti dan membalas kebaikan orang tua,” tambah Iwan (hal 111).
Cinta merenung tentang hal itu dan bertanya-tanya, apakah doa dan shalat sudah cukup?
Kehidupan Cinta mengalami perubahan besar ketika Makky Matahari Muhammad, seorang pria unik yang gemar fotografi dan selalu mengenakan topi baseball, datang ke dalam hidupnya. Di usia 17 tahun, Cinta memutuskan untuk berhijab. Reaksi keluarga, teman-teman, dan tentu saja, Makky, menjadi hal yang menarik untuk diikuti.
Pada saat yang sama, Cinta mendapatkan informasi dari mbok Nah, pembantunya, mengenai rahasia besar tentang ibunya. Dengan tekad yang kuat, Cinta berusaha menemukan ibunya yang selama ini diyakini sudah meninggal. Perjalanannya membawanya dari Bogor ke Jakarta, Bandung, dan akhirnya Yogyakarta. Selama perjalanannya, ia dibantu oleh Adji, seorang pria yang sangat peduli.
Cerita ini menggunakan alur maju-mundur, dimulai dengan wawancara seseorang dengan Cinta yang kemudian menceritakan masa lalunya, kembali ke sepuluh tahun lalu. Meskipun tema cerita ini mungkin terdengar familiar, penulisan mbak Asma membuatnya terasa segar dan menarik. Saya merasa terjebak dalam cerita ini dan tidak bisa berhenti membacanya, bab demi bab, hingga selesai.
Dalam novel ini, Cinta menghadapi berbagai konflik, termasuk perlakuan buruk dari saudara tirinya, Anggun dan Cantik, serta sikap Mama Alia yang menyebalkan. Cinta menghadapi semua itu dengan sikap cuek, kecuali ketika ibunya disebut, di mana dia menunjukkan keteguhan. Teman-temannya juga memiliki karakter unik dan konflik yang menarik untuk dibaca.
Akhir cerita sangat menegangkan, terutama ketika Cinta berada di Yogyakarta, memastikan ibunya masih hidup atau sudah meninggal. Selain itu, misteri tentang siapa yang akhirnya menikah dengan Cinta—Makky atau Adji—menambah ketegangan. Meski di sampul belakang tertera nama Makky, ada kemungkinan kejutan dari penulis.
Akhirnya, Cinta menikah dengan seseorang yang mengikuti nasihat almarhum ayahnya untuk menjauhi hal-hal yang dilarang Allah. Dengan bahagia, Cinta akhirnya bersatu dengan Makky Matahari Muhammad. Sabar ya, Adji.